Sejarah Kalibening

Hamparan sawah berlatar belakang gunung Merbabu menjadi salah satu daya tarik di Wilayah Kelurahan Kalibening

Penduduk Kalibening dan sekitarnya dulu merupakan penganut agama Hindu, Budha, serta Animisme dan Dinamisme. Hal ini dikuatkan dengan ditemukannya patung Yoni berbentuk lumpang di dusun Klumpit. Patung tersebut konon digunakan sebagai tempat sesaji dan membuat dupa untuk sesembahan kepada Dewi Sri.


Mbah Gito, warga keturunan asli Kalibening yang saat ini tinggal di Klumpit menuturkan, sekitar abad ke-12 datang ke tanah Jawa seorang penyebar agama Islam dan daratan Cina Selatan bernama Lie Beng Ing. Dia bersama pengawalnya Geng Gong Liong, memilih menetap di dusun yang sekarang bernama Kalibening.


Menurut Mbah Gito, nama dusun Kalibening diyakini berasal dari nama tokoh Cina Lie Beng Ing. Jasa-jasanya dalam penyebaran agama Islam tersebut menjadikan namanya diabadikan sebagai nama dusun. Warga menyebut Kalibening karena kesulitan untuk mengatakan Lie Beng ing.


Kalibening, jelas mbah Gito, bukan berasal dan kata “kahi atau sungi” dan “bening atau jemih”. Sebab wilayah Kalibening tidak mempunyai sungai. Kalibening hanya memiliki belik atau sumber air yang bernama belik Luwing.


Lie Beng Ing datang ke wilayah ini membawa bekal pohon kelengkeng untuk ditanam. Dan cerita nenek moyang Mbah Gito, pohon kelengkeng di Kalibening bibitnya dari Cina yang dibawa oleh Lie Beng Ing. Bisa jadi pohon Kelengkeng di Kalibening merupakan pohon kelengkeng tertua di Jawa.


Kecintaan Lie Beng Ing terhadap wilayah ini menjadikannya memilih tinggal menetap hingga akhir hayatnya. Lie Beng Ing meninggal dan dimakamkan di makam Kalibening. Sayang, jejak makam Lie Beng Ing tidak ditemukan.

Share artikel ini: